Kompleks nuklir Fukushima Dai-ichi di
Okumamachi, Jepang, 2011. Pembangkit tenaga nuklir Jepang ini sempat
menghebohkan dunia saat terjadinya gempa mengakibatkan tsunami, sehingga
merusak pembangkit nuklir ini dan berdampak luas pada lingkungan dan
air jepang bahkan dunia. (cryptome.org)
Buku berisi rencana pengembangan PLTN tersebut sudah ditandatangani Menteri ESDM Sudirman Said. "Tinggal tunggu Yes or No dari Bapak Presiden," kata Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Maritje Hutapea, kepada pers di Jakarta, Jumat, 12 Juni 2015.
Menurut Maritje, Presiden Joko Widodo menjanjikan persetujuan pembangunan PLTN bakal diambil selepas Hari Raya Idul Fitri 2015. Sebelumnya, melalui Sudirman, Jokowi menyatakan kesediaannya memfasilitasi pengembangan nuklir di Tanah Air.
Maritje menjelaskan sudah ada investor dari Korea dan Rusia yang berminat mengembangkan teknologi nuklir di Indonesia. Namun, dia belum bisa menjelaskan berapa alokasi dana awal khusus pembangunan PLTN, dari kucuran duit Rp 1,7 triliun untuk pos energi baru dan terbarukan di Kementrian ESDM.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jarman, menyatakan untuk membangun listrik 7.000 megawatt per tahun, bakal sulit jika hanya bergantung pada energi fosil seperti gas, batu bara, ataupun diesel. Sebab, penggunaan sumber energi ini sudah dibatasi Kementerian ESDM.
Saat ini saja, sumber listrik batu bara dibatasi 60 persen dari total proyek 35.000 megawatt pemerintah. Tenaga nuklir dalam megaproyek ini bakal menyumbang 5.000 megawatt.
Kalimantan dan Bangka dipilih pemerintah sebab dua daerah ini tidak rawan gempa bumi atau tsunami. Studi kelayakan terhadap Bangka sudah dilakukan, sementara Kalimantan masih menunggu koordinasi Kementerian ESDM dengan Batan.
Jika studi kelayakan Kalimantan selesai. Pemerintah tinggal menentukan mekanisme pembangunan oleh PT PLN atau perusahaan swasta melalui independent power producer (IPP). "Kami juga sedang mengedukasi masyarakat soal nuklir," Jarman berujar.
Menteri Lingkungan Hidup tahun 2001-2004, Nabiel Makarim menyarankan Presiden Joko Widodo untuk menolak usulan pembangunan PLTN. "Karena tidak aman, mahal dan berpotensi mengikis ketahanan nasional," kata menteri di era Presiden Megawati ini
Nabiel mencontohkan kasus kecelakaan PLTN di Three Mile Island (Amerika Serikat), Chernobyl (Rusia) dan Fukushima (Jepang). Dampak kecelakaan itu, katanya, sangat besar, sangat mahal dan menyangkut waktu yang sangat lama penanganannya. Selain itu juga meliputi kawasan regional, negara lain di sekitarnya.
Untuk negara-negara seperti Jepang dan Indonesia, risiko keamanannya ditambah dengan risiko alam antara lain gempa dan tsunami. "Sumber risiko yang sering dilupakan adalah risiko karena faktor sosial budaya," kata Nabiel yang berbicara dalam Dialog Publik: “PLTN Mendesakkah bagi Indonesia?” yang diselenggarakan Thamrin School, Institute for Essential Service Reform (IESR) dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPPB) di Jakarta, pada 22 Mei 2015.
Nabiel menjelaskan untuk memelihara dan menjaga PLTN, dibutuhkan kerja sama dan kerja keras dari semua elemen. Ada negara, swasta dan masyarakat. "Kalau salah satunya nggak siap, maka PLTN juga tidak siap,” ujar Nabiel.
Dia wanti-wanti jangan sampai masalah sosial budaya ini baru mengemuka setelah PLTN berdiri dan beroperasi. Pembangunan dan pengoperasian PLTN itu, katanya, menuntut ketelitian tinggi setiap saat dengan resiko sangat tinggi dan luas.
Sementara itu di dalam PLTN ada reaktor nuklir yang membutuhkan teknologi untuk pengelolaannya dan operator untuk menggerakannya. Menurut Nabiel, operator itu tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakatnya. Karenanya, ujarnya, etos erja manusia Indonesia berperan penting di dalamnya. "Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap?”
Penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN juga disuarakan Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup periode 1999 – 2001 di era Presiden Abdurrahman Wahid dan mantan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
"Tidak masuk akal jika alasan pembangunan PLTN tersebut karena dinilai sudah mendesak di Indonesia," kata Sonny yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Energi Nasional (DEN). Menurutnya, sumber energi lain seperti energi baru dan terbarukan (EBT) masih ada dan tersedia secara berlimpah di Tanah Air. "Selama EBT masih ada, harusnya bisa berpikir untuk mengesampingkan PLTN."
Credit TEMPO.CO