China kemungkinan akan membangun
fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di Laut China Selatan,
perairan sengketa yang diklaim banyak negara. (Reuters/CSIS Asia
Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe/Handout)
"Pembangunan pondasi kekuatan nuklir Laut akan digunakan dalam mendukung kendali yang efektif China di Laut China Selatan," tulis media Global Times yang mengutip pernyataan Perusahaan Nuklir Nasional China, CNNC, di sosial media WeChat.
"Di masa lalu, pembagian air tawar ke tentara yang bermarkas di Laut China Selatan tidak terjamin, dan hanya bisa diantarkan dengan kapal yang membawa air," tulis Global Times mengutip CNNC.
"Di masa depan, saat sistem tenaga dan listrik Laut China Selatan telah kuat, China akan mempercepat pembangunan komersial di wilayah Laut China Selatan," lanjut tulisan tersebut.
China dalam beberapa bulan terakhir memang menggencarkan pembangunan di Laut China Selatan, termasuk melakukan reklamasi daratan, serta membangun fasilitas militer dan sipil, memicu ketegangan di kawasan.
Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda, menyatakan klaim China atas Laut China Selatan tidak sah dan tidak berdasar, sehingga pemerintah Beijing tidak berhak berada di perairan tersebut.
Selain itu, laporan arbitrase menyebutkan aktivitas China di perairan yang diyakini kaya gas dan minyak itu telah merusak ekosistem terumbu karang dan mengancam keberadaan satwa laut langka.
China menegaskan akan mengabaikan keputusan arbitrase itu yang menurut mereka tidak mengikat.
Sementara itu, situs berita yang disokong Beijing, The Paper, mengutip ahli dari Perusahaan Industri Galangan Kapal China, CSIC, Zhu Hanchao, yang mengatakan China tengah mengembangkan 20 pondasi nuklir laut.
Namun Zhu mengatakan, pondasi itu akan ditempatkan di kilang minyak lepas pantai di Laut Bohai, timur laut China, bukan di Laut China Selatan.
China telah menggunakan tenaga nuklir untuk memberi daya pada kapal selam dan kapal induk. Saat ini proyek nuklir untuk kebutuhan sipil tengah digarap bekerja sama dengan Rusia.
Credit CNN Indonesia