LIPI. TEMPO/Aditia Noviansyah
Menurut peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Peza Reko, penelitian ini bisa menjadi pilihan agar negara tidak terlalu bergantung pada bahan bakar fosil.
"Di Taiwan dan Yunani teknologi ini sudah dipakai, namun memang masih sedikit (belum massal)," ujar Peza kepada Antara di sela acara "Biotechnology is Fun" yang diadakan LIPI di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Jawa Barat, Kamis, 19 November 2015.
Ada pun dasar pemikiran dari riset yang telah dimulai sejak 2003 ini adalah bagaimana gas hidrogen yang dihasilkan dari bakteri Rhodobium marinum, diubah menjadi energi listrik.
Cara kerjanya, secara umum, bakteri diatur agar bisa mengeluarkan hidrogen melalui fermentasi, setelah Rhodobium marinum menyerap substrat yang memiliki kadar karbon tinggi.
Sebenarnya, hasil fermentasi tersebut bukanlah hidrogen murni. Karena itu, dimanfaatkanlah mikroalgae Spirulina sp. untuk menyerap gas lain di luar hidrogen, seperti karbon dioksida (CO2) yang bisa dimanfaatkan untuk fotosintesis.
"Sementara itu, tingkat pH di media bakteri harus tetap di kisaran 6-7. Untuk menjaganya kami menggunakan natrium hidroksida (NaOH)," papar Peza.
Hidrogen yang terkumpul kemudian disedot untuk memutar dinamo, yang sudah dimodifikasi agar bisa menyerap oksigen dari udara bebas. Kedua jenis gas ini akan berperan sebagai anoda dan katoda yang dapat menghasilkan energi listrik.
"Kami menargetkan pada tahun 2045 ini bisa diterapkan ke kendaraan bermotor masyarakat," tutur Peza.
Selain bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, teknologi ini juga dapat mengurangi limbah, khususnya limbah cair berkarbon tinggi seperti limbah vinasse dari industri gula.
Vinasse sendiri adalah sisa pemrosesan limbah gula menjadi etanol.
Credit TEMPO.CO