Ilustrasi (Thinkstock)
Contohnya, seperti dikutip dari CNN, Kamis (1/10), adalah kasus penembakan dua wartawan di Virginia bulan lalu. Pelaku, Vester L. Flanagan II, mengaku mengagumi pelaku penembakan di SMA Columbine, Colorado, tahun 1999 dan penembak di kampus Virginia Tech tahun 2007 yang membunuh 33 orang.
Kebanyakan pelaku penembakan di AS memang mengalami gangguan mental. Namun data terbaru menunjukkan, jumlah penderita gangguan jiwa di AS tidak naik signifikan, sementara angka penembakan meroket.
Penembakan di AS naik tiga kali lipat dari tahun 2011 ke 2014, berdasarkan analisa baru Fakultas Kesehatan Harvard dan Northeastern University. Studi Harvard menunjukkan bahwa serangan di publik dalam rentang waktu itu rata-rata terjadi setiap 64 hari. Angka ini naik dibanding 29 tahun sebelumnya, saat serangan terjadi rata-rata setiap 200 hari.
Beberapa pengamat meyakini penembakan ibarat penyakit menular, yang bisa menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Bahkan studi tahun lalu menemukan bahwa penembakan biasanya terjadi sekitar dua pekan atau 13 hari setelah penembakan sebelumnya.
Adam Lankford, professor hukum kriminal di Universitas Alabama yang melakukan studi penembakan massal mengatakan bahwa kejahatan ini lebih cepat menular di AS ketimbang negara lainnya karena akses senjata api yang sangat mudah di negara ini.
"Akses senjata api adalah faktor signifikan insiden ini," kata Lankford.
Kepemilikan senjata api di AS adalah yang paling besar di seluruh dunia. Ada 270 juta hingga 310 juta senjata api yang beredar di AS. Dengan populasi sebesar 318,9 juta, artinya lebih dari sepertiga warga AS yang memiliki senjata api, berdasarkan data Pew Research Center.
Upaya Presiden Barack Obama mereformasi undang-undang kepemilikan senjata mendapatkan penentangan dari parlemen yang telah dilobi oleh perusahaan produsen senapan.
Negara dengan kepemilikan senjata terbesar kedua setelah AS, dibandingkan dengan jumlah penduduknya, adalah India dengan 46 juta senjata yang beredar di antara 1,25 miliar populasinya. Namun India bahkan tidak masuk dalam lima besar negara dengan angka penembakan massal terbanyak.
Alasan mengapa penembakan massal ini menular adalah keinginan untuk menjadi terkenal. Biasanya, pelaku penembakan massal akan mengisi tajuk utama dan halaman depan di media massa serta menarik perhatian publik dunia.
"Sulit untuk menghitungnya, tapi hasil riset saya menunjukkan bahwa menjadi terkenal adalah salah satu tujuan paling penting generasi saat ini," kata Lankford.
Argumennya sesuai dengan apa yang ditulis oleh Mercer yang diduga memposting kalimat di sebuah media sosial. Dia mengatakan ingin menjadi terkenal karena merasa hidupnya saat ini tidak berarti.
"Sepertinya warga Amerika tumbuh dengan hasrat untuk menjadi terkenal, dan tidak diragukan lagi ada hubungan antara perhatian media terhadap para pelaku dan tindakan yang akan mereka lakukan," ujar Lankford.
Credit CNN Indonesia