Jumat, 05 Juni 2015

Presiden Harus Hindari Polemik Pergantian Panglima TNI


 
KOMPAS.com/Sabrina Asril Presiden Joko Widodo bersama Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo di sela-sela acara peletakan batu pertama RS Moh. Ridwan Meureuksa, Rabu (13/5/2015).


JAKARTA, CB - Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi berharap Presiden Joko Widodo dapat menghindari polemik dalam pergantian Panglima TNI. Menurut Muradi, Jokowi sebaiknya mencari calon pengganti Jenderal Moeldoko sesuai giliran dan keperluan organisasi TNI.
Muradi mengatakan, pernyataan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, yang menyebut bahwa calon panglima TNI belum tentu dari Angkatan Udara, dapat menjadi polemik. Ia menilai pernyataan Andi itu tidak menguntungkan pemerintahan Jokowi.
"Berkaitan dengan pemilihan Panglima TNI pengganti Moeldoko, Jokowi sebaiknya menghindari berkembangnya polemik," kata Muradi dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (4/6/2015).
Untuk menghindari polemik itu, kata Muradi, Presiden dapat lebih fokus mengeksekusi program pemerintahan. Ia khawatir pergantian Panglima TNI memicu perdebatan yang mengarah menjadi polemik seperti pergantian Kepala Polri beberapa waktu lalu.
"Presiden dapat memperkuat semangat jabatan bergilir untuk panglima TNI sebagaimana perumusan UU TNI agar tiap matra memiliki kesempatan untuk memimpin TNI secara bergantian," ujarnya.
Muradi menilai pergantian Panglima TNI secara bergiliran dari tiap matra Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dapat memenuhi asas keadilan dan menyehatkan organisasi TNI. Hal itu ia anggap sesuai dengan penegasan politik pertahanan dalam Nawacita agar pemilihan panglima TNI harus tetap berdasarkan pada kepentingan organisasi TNI dan mampu menopang kebijakan pertahanan pemerintah.
"Akan baik bagi Presiden untuk tidak menciptakan polemik baru yang hanya akan menguras energi dari tata kelola pemerintahan," kata Muradi.
Sebelumnya, Andi Widjajanto mengatakan bahwa calon Panglima TNI yang akan menggantikan Jenderal Moeldoko belum tentu berasal dari matra Angkatan Udara. Menurut dia, UU TNI tidak mengatur kewajiban pergantian panglima itu dilakukan bergiliran karena Presiden akan memutuskan sesuai dengan kebutuhan politik pertahanan saat pergantian dilakukan.
"Secara undang-undang ada kebutuhan untuk rotasi, tapi tidak ada keharusan dari AD, AL, AU, AD, AL, AU lagi dan itu tergantung kebutuhan politik pertahanan dari Presiden," kata Andi.
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin meminta Presiden Joko Widodo segera menyerahkan nama calon Panglima TNI kepada DPR untuk uji kepatutan dan kelayakan. Nama yang diusulkan Presiden Jokowi akan menjadi kandidat pengganti Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang akan memasuki masa pensiun pada 1 Agustus 2015 mendatang.
Mengacu pada Pasal 13 ayat 2 UU TNI, panglima diangkat dan diberhentikan presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Dalam Pasal 13 ayat 6, calon panglima disampaikan paling lambat 20 hari sejak diterima oleh DPR.
Hasanuddin mengatakan, masa pensiun Moeldoko memang masih cukup lama. Namun, mengingat DPR akan kembali memasuki reses pada tanggal 10 Juli hingga awal Agustus, maka Presiden harus mempertimbangkan pengganti Moeldoko dari sekarang dan menyerahkan ke DPR selambat-lambatnya pada 19 Juni.
Terkait nama calon Panglima, politisi PDI Perjuangan menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden. Yang penting, pemilihan Panglima TNI harus sesuai dengan Pasal 13 ayat 4. Panglima TNI dijabat oleh perwira tinggi aktif yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan dan dapat dijabat secara bergantian.
"Mengacu pada pasal di atas, kalau sebelumnya dijabat oleh Laksamana Agus kemudian diserahterimakan kepada Jenderal Moeldoko, maka giliran berikutnya adalah KSAU sekarang ini," kata Hasanuddin.


Credit  KOMPAS.com