TEMPO/ Machfoed Gembong
"Hutan itu menjadi dapur bagi kami," kata Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro, Robertus Waraopea, saat dihubungi Tempo pada Kamis, 4 Juni 2015.
Wilayah adat suku Kamoro membentang seluas 300 kilometer persegi. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Kalimana, Asmat, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Di sebelah selatan, tanah adat itu berbatasan langsung dengan Laut Arafura.
Menurut Robertus, pemerintah Papua atau pemerintah pusat belum pernah berkoordinasi dengan masyarakat adat Kamoro perihal pembangunan smelter. Tidak adanya komunikasi membuat masyarakat ketakutan akan dampak lingkungan yang terjadi lantaran rencana aktivitas tambang tersebut.
Wilayah yang ditargetkan untuk pembangunan smelter juga sangat dekat dengan permukiman warga. "Kami tinggal di sekitar 5-10 meter dari wilayah tersebut. Tentu ini membuat kami khawatir," ujar Robertus.
Penolakan masyarakat adat tersebut menyusul aktivitas buangan limbah PT Freeport Indonesia yang saat ini menyebabkan pendangkalan sungai. Padahal, suku Kamoro dan suku lainnya di wilayah Paumako menggunakan sungai sebagai sarana transportasi.
Masyarakat menyarankan pemerintah Papua merelokasi wilayah yang rencananya akan menjadi tempat pembangunan smelter ke perbatasan Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Mimika. Sebab, di daerah tersebut permukiman penduduk masih jarang. "Pembangunan di wilayah tersebut juga akan membuka isolasi daerah. Dan sudah ada jalan menuju ke sana," kata Robert.
Sampai hari ini, pemerintah daerah Papua masih mencari investor untuk membangun smelter berkapasitas 900 ton dengan nilai investasi US$ 1 miliar. Cina adalah salah satu negara yang digadang bakal menanamkan modalnya untuk bisnis ini.
Credit TEMPO.CO