Senin, 01 Juni 2015

KADI Selidiki Dugaan Dumping Tiongkok, Singapura, dan Ukraina


KADI Selidiki Dugaan Dumping Tiongkok, Singapura, dan Ukraina  
Aktivitas bongkar muatan di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (REUTERS/Beawiharta)
 
 
Jakarta, CB -- Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan mengendus paraktik dumping atas impor Hot Rolled Plat (HRP) dari Tiongkok, Singapura, dan Ukraina. Pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) tengah dikaji KADI untuk dapat meredam masuknya HRP dari ketiga negara tersebut.

"Tiga negara itu diduga melakukan kegiatan dumping," kata Ketua KADI Ernawati melalui keterangan tertulis, Senin (1/6).

Ernawati menuturkan penyelidikan sunset review pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dilakukan sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.011/2012 terhadap barang impor Hot Rolled Plate (HRP). Tindakan antidumping ini diatur pula dalam PP Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan pengamanan Perdagangan.


"Penyelidikan yang dimulai pada 22 Mei 2015 itu dilakukan atas permohonan PT Gunung Rajapaksi, PT Gunawan Dianjaya Steel, dan PT Jaya Pari Steel," kata Ernawati.

Menurutnya, penyelidikan dilakukan untuk menganalisis kemungkinan masih terjadinya dumping yang bisa menimbulkan kerugian bagi Indonesia.

Ernawati menilai kebijakan BMAD cukup efektif menurunkan volume impor barang dari negara-negara pelaku dumping. Berdasarkan catatan KADI, selama periode 2012-2014 atau setelah BMAD diterapkan rata-rata volume impor dari sejumlah negara pelaku dumping anjlok 22 persen, dari sebelumnya tumbuh 59 persen selama periode 2009-2011.

Khusus untuk produk HRP, volume impornya juga susut drastis dalam tiga tahun terakhir, dari 711.596 ton pada 2012 menjadi 357.373 ton pada 2014.

Penyusutan impor terutama terjadi untuk impor HRP dari tiga negara yang dikenakan BMAD, yakni Tiongkok, Singapura, dan Ukraina, dari 420.971 ton pada 2012 menjadi 256.179 ton pada 2014.

"Ketiga negara tersebut memiliki pangsa sebesar 72 persen dari total impor HRP," tutur Ernawati.

Credit  CNN Indonesia