Senin, 23 Juli 2018

Cegah Agresi AS, China Didesak Percepat Pengembangan Nuklir


Cegah Agresi AS, China Didesak Percepat Pengembangan Nuklir
Media China mendesak Beijing untuk mempercepat pengembangan nuklir untuk mengimbangi agresi AS. Foto/Istimewa

BEIJING - China harus mempertimbangkan kembali ukuran "cukup" dari persediaan senjata nuklirnya untuk menakut-nakuti para penyerang potensial. Demikian editorial yang diturunkan media milik negara Global Times China, merujuk pada sikap agresif Amerika Serikat (AS) di Laut China Selatan dan masalah Taiwan.

"Salah satu pelajaran yang harus dipelajari China dari pertemuan Donald Trump-Vladimir Putin adalah Washington menghormati kekuatan militer di tempat pertama dan persediaan senjata nuklir, khususnya," begitu bunyi editorial surat kabar yang berafiliasi dengan Partai Komunis China.

Artikel ini menunjukkan bahwa persenjataan nuklir Rusia berada di belakang rasa hormat kepada AS dan mungkin satu-satunya alasan yang sebelumnya telah menghalangi keterlibatan NATO dalam konflik terbuka di Ukraina dan Suriah dengan Rusia.

"Hanya dengan melihat sikap agresif AS di Laut Cina Selatan dan masalah Taiwan, kita tahu bahwa kekuatan nuklir China 'jauh dari cukup.' Bagian dari arogansi strategis AS mungkin datang dari keunggulan nuklir absolutnya," editorial itu memperingatkan seperti dikutip dari Russia Today, Minggu (22/7/2018).

Editorial itu menambahkan bahwa suatu hari nanti Washington akan mengubah arogansi ini menjadi provokasi militer yang melibatkan China.

"Dengan demikian, meningkatkan pengembangan senjata nuklir untuk menunjukkan tekad untuk membela kepentingan nasional intinya harus menjadi prioritas utama bagi negara," artikel itu menekankan.

Sementara Moskow dan Washington adalah hegemoni nuklir global dengan jumlah hulu ledak, Beijing tertinggal di belakang dua kekuatan di klub nuklir. China memiliki sekitar 270 hulu ledak dibandingkan dengan beberapa ribu hulu ledak AS dan Rusia yang kuat, menurut laporan International Peace Research Institute (SIPRI) 2017.

Beijing perlahan-lahan meningkatkan jumlah hulu ledak dan saat ini mengembangkan Dongfeng-41 (DF-41) - rudal balistik jarak jauh yang mungkin mampu menyerang target potensial di seluruh dunia. Namun, tidak jelas kapan senjata baru itu akan digunakan.

Terlepas dari perang perdagangan yang baru-baru ini terjadi antara kedua kekuatan itu, pasukan China dan AS telah lama terlibat perang dingin di perairan Laut China Selatan yang diperselisihkan, yang diklaim Beijing sebagai wilayah nasionalnya.

Terlepas dari kenyataan bahwa AS bukan merupakan salah satu negara penuntut, Washington bersikeras bahwa wilayah tersebut harus tetap perairan internasional. Washington secara rutin mengirim misi "kebebasan navigasi", yang meliputi kapal perang dan pengebom, ke wilayah itu, yang mengundang kemarahan dari Beijing.

Taiwan adalah titik panas lain dalam hubungan AS-Cina, karena pulau itu mencari otonomi yang lebih luas dan bahkan kemerdekaan dari China daratan. Washington mengakui kebijakan "Satu Cina" pemerintah China, yang menetapkan integritas negara, tetapi itu tidak menghentikannya melakukan manuver yang agak provokatif di wilayah tersebut. Dalam contoh lain, Departemen Luar Negeri AS memberi izin penjualan teknologi kapal selam ke Taiwan. 





Credit  sindonews.com